Sunday, March 16, 2014

Spektrofotometri Sinar Tampak (Visible)

        Spektrofotometri visible disebut juga spektrofotometri sinar tampak. Yang dimaksud sinar tampak adalah sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia. Cahaya yang dapat dilihat oleh mata manusia adalah cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm dan memiliki energi sebesar 299–149 kJ/mol.
          Elektron pada keadaan normal atau berada pada kulit atom dengan energi terendah disebut keadaan dasar (ground-state). Energi yang dimiliki sinar tampak mampu membuat elektron tereksitasi dari keadaan dasar menuju kulit atom yang memiliki energi lebih tinggi atau menuju keadaan tereksitasi.
           Cahaya yang diserap oleh suatu zat berbeda dengan cahaya yang ditangkap oleh mata manusia. Cahaya yang tampak atau cahaya yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari disebut warna komplementer. Misalnya suatu zat akan berwarna orange bila menyerap warna biru dari spektrum sinar tampak dan suatu zat akan berwarna hitam bila menyerap semua warna yang terdapat pada spektrum sinar tampak. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut.
Panjang gelombang (nm)
Warna warna yang diserap
Warna komplementer (warna yang terlihat)
400 – 435
Ungu
Hijau kekuningan
435 – 480
Biru
Kuning
480 – 490
Biru kehijauan
Jingga
490 – 500
Hijau kebiruan
Merah
500 – 560
Hijau
Ungu kemerahan
560 – 580
Hijau kekuningan
Ungu
580 – 595
Kuning
Biru
595 – 610
Jingga
Biru kehijauan
610 – 800
Merah
Hijau kebiruan
         Pada spektrofotometer sinar tampak, sumber cahaya biasanya menggunakan lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram. Wolfram merupakan salah satu unsur kimia, dalam tabel periodik unsur wolfram termasuk golongan unsur transisi tepatnya golongan VIB atau golongan 6 dengan simbol W dan nomor atom 74. Wolfram digunakan sebagai lampu pada spektrofotometri tidak terlepas dari sifatnya yang memiliki titik didih yang sangat tinggi yakni 5930 °C.
Spectrophotometer_P7131132clip_image002
Gambar 2 jenis spektronic-20 yang bekerja pada rentang panjang gelombang sinar tanpak. Gambar atas merupakan spectronic-20 lama yang sudah jarang bahkan mungkin tidak diproduksi lagi. Sedangkan gambar kedua adalah spectronic-20 terbaru.

        Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis adalah panjang gelombang dimana suatu zat memberikan penyerapan paling tinggi yang disebut λmaks. Hal ini disebabkan jika pengukuran dilakukan pada panjang gelombang yang sama, maka data yang diperoleh makin akurat atau kesalahan yang muncul makin kecil.
        Berdasarkan hukum Beer absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi, karena b atau l harganya 1 cm dapat diabaikan dan ε merupakan suatu tetapan. Artinya konsentrasi makin tinggi maka absorbansi yang dihasilkan makin tinggi, begitupun sebaliknya konsentrasi makin rendah absorbansi yang dihasilkan makin rendah. (Hukum Lamber-Beer dan syarat peralatan yang digunakan agar terpenuhi hukum Lambert-Beer Baca Pengertian Dasar Spektrofotometer Vis, UV, UV-Vis) 
         Hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi akan linear (A≈C) apabila nilai absorbansi larutan antara 0,2-0,8 (0,2 ≤ A ≥ 0,8) atau sering disebut sebagai daerah berlaku hukum Lambert-Beer. Jika absorbansi yang diperoleh lebih besar maka hubungan absorbansi tidak linear lagi. Kurva kalibarasi hubungan antara absorbansi versus konsentrasi dapat dilihat pada Gambar.
    clip_image004
    Gambar Kurva hubungan absorbansi vs konsentrasi

    Faktor-faktor yang menyebabkan absorbansi vs konsentrasi tidak linear:
  1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat pembentuk warna.
  2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
  3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui pengenceran atau pemekatan).

             Zat yang dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri sinar tampak adalah zat dalam bentuk larutan dan zat tersebut harus tampak berwarna, sehingga analisis yang didasarkan pada pembentukan larutan berwarna disebut juga metode kolorimetri.
            Jika tidak berwarna maka larutan tersebut harus dijadikan berwarna dengan cara memberi reagen tertentu yang spesifik. Dikatakan spesifik karena hanya bereaksi dengan spesi yang akan dianalisis. Reagen ini disebut reagen pembentuk warna (chromogenik reagent). Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh reagen pembentuk warna:
  1. Kestabilan dalam larutan. Pereaksi-pereaksi yang berubah sifatnya dalam waktu beberapa jam, dapat menyebabkan timbulnya semacam cendawan bila disimpan. Oleh sebab itu harus dibuat baru dan kurva kalibarasi yang baru harus dibuat saat setiap kali analisis.
  2. Pembentukan warna yang dianalisis harus cepat.
  3. Reaksi dengan komponen yang dianalisa harus berlangsung secara stoikiometrik.
  4. Pereaksi tidak boleh menyerap cahaya dalam spektrum dimana dilakukan pengukuran.
  5. Pereaksi harus selektif dan spesifik (khas) untuk komponen yang dianalisa, sehingga warna yang terjadi benar-benar merupakan ukuran bagi komponen tersebut saja.
  6. Tidak boleh ada gangguan-gangguan dari komponen-komponen lain dalam larutan yang dapat mengubah zat pereaksi atau komponen komponen yang dianalisa menjadi suatu bentuk atau kompleks yang tidak berwarna, sehingga pembentukan warna yang dikehandaki tidak sempurna.
  7. Pereaksi yang dipakai harus dapat menimbulkan hasil reaksi berwarna yang dikehendaki dengan komponen yang dianalisa, dalam pelarut yang dipakai.

              Setelah ditambahkan reagen atau zat pembentuk warna maka larutan tersebut harus memiliki lima sifat di bawah ini:
  1. Kestabilan warna yang cukup lama guna memungkinkan pengukuran absorbansi dengan teliti. Ketidakstabilan, yang mengakibatkan menyusutnya warna larutan (fading), disebabkan oleh oksidasi oleh udara, penguraian secara fotokimia, pengaruh keasaman, suhu dan jenis pelarut. Namun kadang-kadang dengan mengubah kondisi larutan dapat diperoleh kestabilan yang lebih baik.
  2. Warna larutan yang akan diukur harus mempunyai intensitas yang cukup tinggi (warna harus cukup tua) yang berarti bahwa absortivitas molarnya (ε) besar. Hal ini dapat dikontrol dengan mengubah pelarutnya. Dalam hal ini dengan memilih pereaksi yang memiliki kepekaan yang cukup tinggi.
  3. Warna larutan yang diukur sebaiknya bebas daripada pengaruh variasi-variasi kecil kecil dalam nilai pH, suhu maupun kondisis-kondisi yang lain.
  4. Hasil reaksi yang berwarna ini harus larut dalam pelarut yang dipakai.
  5. Sistem yang berwarna ini harus memenuhi Hukum Lambert-Beer.


    Menentukan konsentrasi sampel dengan cara kurva kalibrasi
               Konsentrasi sampel dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan rumus yang diturunkan dari hukum lambert beer (A= a . b . c atau A = ε . b . c). Namun ada cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu spesi yang ada dalam suatu larutan yakni dengan cara kurva kalibarasi. Cara ini sebenarnya masih tetap bertumpu pada hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi.
                Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penentuan konsentrasi zat dengan kurva kalibarasi:
  1. Maching kuvet : mencari dua buah kuvet yang memiliki absorbansi atau transmitansi sama atau hampir sama. Dua buah kuvet inilah yang akan digunakan untuk analisis, satu untuk blanko, satu untuk sampel. Dalam melakukan analisis Maching kuvet harus dilakukan agar kesalahannya makin kecil.
  2. Membuat larutan standar pada berbagai konsentrasi. Larutan standar yaitu larutan yang konsentrasinya telah diketahui secara pasti. Konsentrasi larutan standar dibuat dari yang lebih kecil sampai lebih besar dari konsentrasi analit yang diperkirakan.
  3. Ambilah salah satu larutan standar, kemudian ukur pada berbagai panjang gelombang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada panjang gelombang berapa, absorbansi yang dihasilkan paling besar. Panjang gelombang yang menghasilkan absorbansi paling besar atau paling tinggi disebut panjang gelombang maksimum (lmaks).
  4. Ukurlah absorbansi semua larutan standar yang telah dibuat pada panjang gelombang maksimum.
  5. Catat absorbansi yang dihasilkan dari semua larutan standar, kemudian alurkan pada grafik absorbansi vs konsentrasi sehingga diperoleh suatu kurva yang disebut kurva kalibarasi. Dari hukum Lambart-Beer jika absorbansi yang dihasilkan berkisar antara 0,2-0,8 maka grafik akan berbentuk garis lurus, namun hal ini tidak dapat dipastikan.

Misalkan absorbansi yang dihasilkan dari larutan standar yang telah dibuat adalah
Absorbansi
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
konsentrasi
2 ppm
4 ppm
6 ppm
8 ppm
10 ppm
12 ppm
14 ppm
16 ppm
Grafiknya adalah
clip_image005
6. Ukurlah absorbansi larutan yang belum diketahui konsentrasinya. Setelah diperoleh absorbansinya, masukan nilai tersebut pada grafik yang diperoleh pada langkah 5. Misalkan absorbansi yang diperoleh 0,6. Maka jika ditarik garis lurus konsentrasi sampel akan sama dengan konsentrasi larutan standar 10 ppm. Maka grafiknya sebagai berikut:
clip_image006
Selain dengan cara diatas konsentrasi sampel dapat dihitung dengan persamaan regresi linear:
clip_image008
persamaan di atas dapat dihitung dengan bantuan kalkulator. Setelah diperoleh persamaan di atas, absorbansi sampel yang diperoleh dimasukan sebagai nila y sehingga diperoleh nila x. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi sampel yang dianalisis.



Artikel yang di sarankan :
1. Pengertian Dasar Spektrofotometer Vis, UV, UV-Vis

Pengertian Dasar Spektrofotometer Vis, UV, UV-Vis

          Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah, sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron valensi.
         Sinar atau cahaya yang berasal dari sumber tertentu disebut juga sebagai radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah cahaya matahari.
        Dalam interaksi materi dengan cahaya atau radiasi elektromagnetik, radiasi elektromagnetik kemungkinanan dihamburkan, diabsorbsi atau dihamburkan sehingga dikenal adanya spektroskopi hamburan, spektroskopi absorbsi ataupun spektroskopi emisi.
         Pengertian spektroskopi dan spektrofotometri pada dasarnya sama yaitu di dasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Namun pengertian spektrofotometri lebih spesifik atau pengertiannya lebih sempit karena ditunjukan pada interaksi antara materi dengan cahaya (baik yang dilihat maupun tidak terlihat). Sedangkan pengertian spektroskopi lebih luas misalnya cahaya maupun medan magnet termasuk gelombang elektromagnetik.
           Radiasi elektromagnetik memiliki sifat ganda yang disebut sebagai sifat dualistik cahaya yaitu:
1) Sebagai gelombang
2) Sebagai partikel-partikel energi yang disebut foton.
            Karena sifat tersebut maka beberapa parameter perlu diketahui misalnya panjang gelombang, frekuensi dan energi tiap foton. Panjang gelombang (l) didefinisikan sebagai jarak antara dua puncak.
image
              Hubungan dari ketiga parameter di atas dirumuskan oleh Planck yang dikenal dengan persamaan Planck. Hubungan antara panjang gelombang frekuensi dirumuskan sebagai
c = λ . v atau λ = c/v atau v = c/λ
 
Persamaan Planck: hubungan antara energi tiap foton dengan frekuensi
E = h . v
E = h . c/ λ
dimana
          E = energi tiap foton
           h = tetapan Planck (6,626 x 10-34 J.s),
          v = frekuensi sinar
         c = kecepatan cahaya (3 x 108 m.s-1).

Dari rumus di atas dapat diketahui bahwa energi dan frekuensi suatu foton akan berbanding terbalik dengan panjang gelombang tetapi energi yang dimiliki suatu foton akan berbanding lurus dengan frekuensinya.

            Misalnya: energi yang dihasilkan cahaya UV lebih besar dari pada energi yang dihasilkan sinar tampak. Hal ini disebabkan UV memiliki panjang gelombang (λ) yang lebih pendek (100–400 nm) dibanding panjang gelombang yang dimiliki sinar tampak (400–800 nm).
Berbagai satuan energi beserta faktor konversinya dapat dilihat pada tabel:
Erg
Joule
Kalori
l.atm
E.volt
1 erg = 1
10-7
2,3901×10-8
9,8687×1010
6,2418×1011
J joule = 107
1
2,3901×10-1
9,8687×10-3
6,2418×1018
1 kalori 4,1849×107
4,1840
1
4,1291×10-2
2,6116×1019
1 atm = 1,0133×109
1,0133×102
24,218
1
16,6248×1020
1 E.volt = 1,6021×10-12
1,6021x-19
3,8291×10-20
1,5611×10-20
1
           Interaksi antara materi dengan cahaya disini adalah terjadi penyerapan cahaya, baik cahaya Uv, Vis maupun Ir oleh materi sehingga spektrofotometri disebut juga sebagai spektroskopi absorbsi.
            Dari 4 jenis spektrofotometri ini (UV, Vis, UV-Vis dan Ir) memiliki prinsip kerja yang sama yaitu “adanya interaksi antara materi dengan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu”. Perbedaannya terletak pada panjang gelombang yang digunakan.
Secara sederhana Instrumen spektrofotometri yang disebut spektrofotometer terdiri dari :
sumber cahaya – monokromator – sel sampel – detektor – read out (pembaca).
conventional spectrophotometer copy

Fungsi masing-masing bagian:
1. Sumber sinar polikromatis berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis dengan berbagai macam rentang panjang gelombang. Untuk sepktrofotometer
  • UV menggunakan lampu deuterium atau disebut juga heavi hidrogen
  • VIS menggunakan lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram
  • UV-VIS menggunan photodiode yang telah dilengkapi monokromator.
  • Infra merah, lampu pada panjang gelombang IR.

2. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi cahaya monaokromatis. Jenis monokromator yang saat ini banyak digunakan adalan gratting atau lensa prisma dan filter optik.
Jika digunakan grating maka cahaya akan dirubah menjadi spektrum cahaya. Sedangkan filter optik berupa lensa berwarna sehingga cahaya yang diteruskan sesuai dengan warnya lensa yang dikenai cahaya. Ada banyak lensa warna dalam satu alat yang digunakan sesuai dengan jenis pemeriksaan.
Pada gambar di atas disebut sebagai pendispersi atau penyebar cahaya. dengan adanya pendispersi hanya satu jenis cahaya atau cahaya dengan panjang gelombang tunggal yang mengenai sel sampel. Pada gambar di atas hanya cahaya hijau yang melewati pintu keluar. Proses dispersi atau penyebaran cahaya seperti yang tertera pada gambar.
clip_image001

3. Sel sampel berfungsi sebagai tempat meletakan sampel
- UV, VIS dan UV-VIS menggunakan kuvet sebagai tempat sampel. Kuvet biasanya terbuat dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuat dari silika memiliki kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan yang terbuat dari kaca dan plastik dapat menyerap UV sehingga penggunaannya hanya pada spektrofotometer sinar tampak (VIS). Cuvet biasanya berbentuk persegi panjang dengan lebar 1 cm.
- IR, untuk sampel cair dan padat (dalam bentuk pasta) biasanya dioleskan pada dua lempeng natrium klorida. Untuk sampel dalam bentuk larutan dimasukan ke dalam sel natrium klorida. Sel ini akan dipecahkan untuk mengambil kembali larutan yang dianalisis, jika sampel yang dimiliki sangat sedikit dan harganya mahal.

4. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik. Syarat-syarat sebuah detektor :
  • Kepekaan yang tinggi
  • Perbandingan isyarat atau signal dengan bising tinggi
  • Respon konstan pada berbagai panjang gelombang.
  • Waktu respon cepat dan signal minimum tanpa radiasi.
  • Signal listrik yang dihasilkan harus sebanding dengan tenaga radiasi.

    Macam-macam detektor :
  • Detektor foto (Photo detector)
  • Photocell, misalnya CdS.
  • Phototube
  • Hantaran foto
  • Dioda foto
  • Detektor panas

5. Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat listrik yang berasal dari detektor.

Proses Absorbsi Cahaya pada Spektrofotometri

            Ketika cahaya dengan panjang berbagai panjang gelombang (cahaya polikromatis) mengenai suatu zat, maka cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja yang akan diserap. Di dalam suatu molekul yang memegang peranan penting adalah elektron valensi dari setiap atom yang ada hingga terbentuk suatu materi. Elektron-elektron yang dimiliki oleh suatu molekul dapat berpindah (eksitasi), berputar (rotasi) dan bergetar (vibrasi) jika dikenai suatu energi.
            Jika zat menyerap cahaya tampak dan UV maka akan terjadi perpindahan elektron dari keadaan dasar menuju ke keadaan tereksitasi. Perpindahan elektron ini disebut transisi elektronik. Apabila cahaya yang diserap adalah cahaya inframerah maka elektron yang ada dalam atom atau elektron ikatan pada suatu molekul dapat hanya akan bergetar (vibrasi). Sedangkan gerakan berputar elektron terjadi pada energi yang lebih rendah lagi misalnya pada gelombang radio.
            Atas dasar inilah spektrofotometri dirancang untuk mengukur konsentrasi suatu suatu yang ada dalam suatu sampel. Dimana zat yang ada dalam sel sampel disinari dengan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Ketika cahaya mengenai sampel sebagian akan diserap, sebagian akan dihamburkan dan sebagian lagi akan diteruskan.
             Pada spektrofotometri, cahaya datang atau cahaya masuk atau cahaya yang mengenai permukaan zat dan cahaya setelah melewati zat tidak dapat diukur, yang dapat diukur adalah It/I0 atau I0/It (perbandingan cahaya datang dengan cahaya setelah melewati materi (sampel)). Proses penyerapan cahaya oleh suatu zat dapat digambarkan sebagai berikut:
 penyerapan cahaya tampak oleh zat dalam sel sampel
Gambar Proses penyerapan cahaya oleh zat dalam sel sampel. dari gambar terlihat bahwa zat sebelum melewati sel sampel lebih terang atau lebih banyak di banding cahaya setelah melewati sel sampel

          Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer atau Hukum Beer, berbunyi:

jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.

              Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung banyaknya cahaya yang hamburkan:
clip_image008
dan absorbansi dinyatakan dengan rumus:
clip_image010
dimana I0 merupakan intensitas cahaya datang dan It atau I1 adalah intensitas cahaya setelah melewati sampel.
Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai:
A= a . b . c atau A = ε . b . c
dimana:
   A = absorbansi
  b atau terkadang digunakan l = tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya 1 cm)
c = konsentrasi larutan yang diukur
ε = tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam molar)
a = tetapan absorptivitas (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam ppm).

              Secara eksperimen hukum Lambert-beer akan terpenuhi apabila peralatan yang digunakan memenuhi kriteria-kriteria berikut:
  1. Sinar yang masuk atau sinar yang mengenai sel sampel berupa sinar dengan dengan panjang gelombang tunggal (monokromatis).
  2. Penyerapan sinar oleh suatu molekul yang ada di dalam larutan tidak dipengaruhi oleh molekul yang lain yang ada bersama dalam satu larutan.
  3. Penyerapan terjadi di dalam volume larutan yang luas penampang (tebal kuvet) yang sama.
  4. Penyerapan tidak menghasilkan pemancaran sinar pendafluor. Artinya larutan yang diukur harus benar-benar jernih agar tidak terjadi hamburan cahaya oleh partikel-partikel koloid atau suspensi yang ada di dalam larutan.
  5. Konsentrasi analit rendah. Karena apabila konsentrasi tinggi akan menggangu kelinearan grafik absorbansi versus konsntrasi.

            Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam menggunakan spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit:
  1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat pembentuk warna.
  2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
  3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui pengenceran atau pemekatan).


Spektrum UV, VIS, UV-VIS dan IR

          Data-data yang dikeluarkan oleh UV atau VIS dapat berupa absorbansi atau transmitansi yang langsung dibaca pada spektrofotometer. Namun untuk UV, VIS, UV-VIS dan IR data yang dikeluarkan dapat berupa spektrum jika telah dihubungkan dengan komputer.
          Spektrum yang dikeluarkan oleh UV, VIS dan UV-VIS berupa pita yang lebar sedangkan pada pita yang dikeluarkan oleh IR berupa garis atau puncak tajam.
          Pita melebar dari UV-VIS disebabkan karena energi yang dimiliki selain menyebabkan transisi elektronik terjadi pula rotasi dan vibrasi elektron dalam molekul. Sedangkan pada IR hanya terjadi vibrasi elektron maka spektrum yang dihasilkan berupa garis atau puncak tajam. Selain pada IR, spektrum berupa garis dapat terjadi pula pada spektroskopi NMR karena hanya terjadi rotasi elektron.
          Spektrum yang dihasilkan dari setiap spektroskopi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Para kimiawan spektrum UV, VIS maupun IR dapat dibedakan dengan mudah. Spektrum yang dihasilkan oleh UV, VIS dan UV-VIS tidak berbeda jauh namun sangat sangat berbeda bila dibanding spektrum IR. Untuk membedakannya dapat dilihat pada gambar:
clip_image011
Gambar spektrum UV. Namun spektrum dari spektrofotometer VIS dan UV-VIS menyerupai spektrum UV

clip_image013
Gambar spektrum IR. Pita tertinggi mengarah ke bawah sedangkan pada UV pita yang paling tinggi mengarah ke atas hal ini disebabkan spektrofotometer IR ditulis dalam bentung bilangan gelombang

Spektrofotometri UV-Vis

UV-VIS-Spektrofotometer
Gambar Spektrofotometer UV-VIS

Sesuai dengan namanya spektrofotometer UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan Visible. Pada spektrofotometer UV-Vis menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible.
Spektrofotometer UV-Vis merupakan spektrofotometer berkas ganda sedangkan pada spektrofotometer VIS ataupun UV termasuk spektrofotometer berkas tunggal. Pada spektrofotometer berkas ganda blanko dan sampel dimasukan atau disinari secara bersamaan, sedangkan spektrofotometer berkas tunggal blanko dimasukan atau disinari secara terpisah.
Spektrofotometer UV-VIS seperti yang tertera pada gambar.
Dual Beam Spectrometer

Kini spektrofotometer yang digunakan hanya menggunakan satu lampu sebagai sumber cahaya. Lampu yang digunakan sebagai sumber cahaya yaitu photodiode yang telah dilengkapi monokromator. Monokromator disini berfungsi untuk mengubah cahaya yang berasal dari sumber cahaya sehingga diperoleh cahaya hanya dengan satu jenis panjang gelombang.
Zat yang dapat dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis yaitu zat dalam bentuk larutan dan zat yang tampak berwarna maupun berwarna. Jenis spektroskopi UV-Vis terutama berguna untuk analisis kuantitatif langsung misalnya kromofor, nitrat, nitrit dan kromat sedangkan secara tak langsung misalnya ion logam transisi.
Langkah-langkah utama dalam analisa dengan sinar UV/Vis
  • Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV/Vis
  • Harus dilakukan jika senyawa yang dianalisa tidak melakukan penyerapan didaerah UV/Vis
  • Senyawa harus diubah menjadi bentuk lain yang dapat melakukan penyerapan pada daerah yang dimaksud. Misalnya mengubah menjadi berwarna atau tidak berwarna.
  • Pemilihan panjang gelombang agar diperoleh panjang gelombang maksimum.
  • Pembuatan kurva kalibrasi. Untuk keperluan ini dibuat sejumlah larutan standar dengan berbagai konsentrasi.
  • Absorbans larutan standart ini diukur kemudian dibuat grafik A versus C.
  • Hukum Lambert Beer terpenuhi, jika grafik berbentuk garis lurus yang melalui titik nol.
  • Pengukuran sampel dilakukan pada kondisi yang sama seperti pada larutan standart.

Spektrofotometri UV (ultraviolet)

Spektrofotometri UV merupakan salah satu metode analisis yang dilakukan dengan pangjang gelombang 100-400 nm atau 595–299 kJ/mol. Sinar ultraviolet atau sinar ungu terbagi menjadi dua jenis yaitu
· Ultraviolet jauh
· Ultaviolet dekat
Ultraviolet jauh memiliki rentang panjang gelombang ± 10 – 200 nm, sedangkan ultraviolet dekat memiliki rentang panjang gelombang ± 200-400 nm. Cahaya UV tidak bisa dilihat oleh manusia, namun beberapa hewan, termasuk burung, reptil dan serangga seperti lebah dapat melihat sinar pada panjang gelombang UV.
Pada spektrofotometer UV biasanya menggunakan lampu deuterium atau disebut juga heavi hidrogen sebagai sumber cahaya. Deuterium merupakan salah satu isotop hidrogen yang memiliki 1 proton dan 1 neutron pada intinya. Deuterium berbeda dengan hidrogen yang hanya memiliki 1 neutron tanpa proton. Air yang atom hidrogennya merupakan isotop deuterium dinamakan air berat (D2O).
Air berat digunakan sebagai moderator neutron dan pendingin pada reaktor nuklir. Deuterium juga berpotensi sebagai bahan bakar fusi nuklir komersial. Perlu diketahui air berat yang dibekukan (es) dapat tenggelam dalam air karena massa jenisnya lebih besar dari massa jenis air. Hal ini, tentu berbeda dengan es yang dibuat dari air (H2O) yang mengapung bila dimasukan dalam air karena massa jenisnya lebih kecil dari air.
Zat yang dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri UV adalah zat dalam bentuk larutan dan zat tersebut tidak tampak berwarna. Jika zat tersebut berwarna maka perlu direaksikan dengan reagen tertentu sehingga dihasilkan suatu larutan tidak berwarna. Namun biasanya zat yang berwarna lebih banyak dianalisis menggunakan spektrofotometri sinar tampak.
Senyawa-senyawa organik sebagian besar tidak tidak berwarna sehingga spektrofotometer UV lebih banyak digunakan dalam analisis senyawa organik khususnya dalam penentuan struktur senyawa organik.
Larutan-larutan tidak berwarna yang dianalisis menggunakan spektrofotometer UV tidak boleh ada partikel koloid ataupun suspensi. Karena adanya partikel-partikel koloid ataupun suspensi akan memperbesar absorbansi, akibatnya bila dihubungkan dengan rumus yang diturunkan dari hukum Lambaert-Beer konsentrasi zat yang dianalisis makin besar dan apabila digunakan untuk penentuan struktur suatu senyawa maka pita pada spektrum akan melebar dari yang sesungguhnya.
Analisis menggunakan sinar ultraviolet biasanya dilakukan menggunakan ultraviolet dekat, sedangkan analisis menggunakan ultraviolet jauh maka instrumen yang digunakan harus dalam keadaan vakum.
Hal ini disebabkan jika digunakan ultraviolet jauh maka udara akan ikut menyerap panjang gelombang yang digunakan. Akbatnya kesalahan yang dilakukan makin fatal, karena jika udara ikut menyerap maka absorbansi yang dihasilkan akan makin besar, jika hal ini dihubungkan dengan hukum Lamber-Beer maka konsentrasi zat yang dianalisis lebih tinggi dari yang seharusnya.
Perhitungan konsentrasi suatu spesi yang ada dalam suatu larutan dapat dilakukan dengan cara kurva kalibarasi seperti yang telah dijelaskan di Spektrofotometri sinar tampak (Visible).

Penggunaan UV Untuk Penentuan Struktur Molekul
Penggunaan UV untuk analisis senyawa organik (penentuan struktur senyawa organik) terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan yaitu:
1) Kromofor. Kromofor berasal dari bahasa latin yang artinya “chromophorus” yang berarti pembawa warna. Pada mulanya pengertian kromofor digunakan untuk sistem yang menyebabkan terjadinya warna pada suatu senyawa. Kemudian diperluas menjadi suatu gugus fungsi yang mengabsorbsi radiasi elektromagnetik, termasuk yang tidak memberikan warna. Jadi kromofor adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah cahaya tampak. Contoh kromofor: C=O, C=C, N=N dan NO2.
2) Auksokrom (Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang berpengaruh (namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak cukup signifikan pada absorbansinya (lmaks dan e ). Contoh gugus auksokrom adalah : –OH, –OR, dan –NHR. Secara umum gugus-gugus auksokrom dicirikan oleh adanya pasangan elektron bebas yang terdapat pada gugus yang bersangkutan.
3) Geseran batokromat atau geseran batokromik (Bathochromic shift) atau geseran merah, yakni geseran atau perubahan lmaks ke arah yang lebih besar. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah adanya perubahan struktur, misalnya adanya auksokrom atau adanya pergantian pelarut.
4) Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift) atau pergeseran hipokromik atau pergeseran biru, yakni geseran atau perubahan lmaks ke arah yang lebih kecil. Munculnya gejala ini juga sering disebabkan oleh adanya penghilangan auksokrom atau oleh adanya pergantian pelarut.
dari penjelasan-penjelasan dapat disimpulkan, suatu auksokrom dan pergantian pelarut dapat menimbulkan geseran batokromat dan hipsokromat
Transisi Elektronik
Energi yang dimiliki sinar UV mampu menyebabkan perpindahan elektron (promosi elektron) atau yang disebut transisi elektronik. Transisi elektronik dapat diartikan sebagai perpindahan elektron dari satu orbital ke orbital yang lain.
Disebut transisi elektronik karena elektron yang menempati satu orbital dengan energi terendah dapat berpindah ke orbital lain yang memiliki energi lebih tinggi jika menyerap energi, begitupun sebaliknya elektron dapatberpindah dari orbital yang memiliki energi lebih rendah jika melepaskan energi. Energi yang diterima atau diserap berupa radiasi elektromagnetik.
Berdasarkan mekanika kuantum transisi elektronik yang dibolehkan atau tidak dibolehkan (terlarang) disebut kaidah seleksi. Berdasarkan kaidah seleksi, suatu transisi elektronik termasuk:
1. Transisi diperbolehkan bila nilai ε sebesar 103 sampai 106.
2. Transisi terlarang bila nilai ε sebesar 10-3 sampai 103.

Selain dengan melihat harga ε kaidah seleksi dapat dapat dinyatakan dengan simetri dan spin. Berdasarkan simetri dan spin suatu transisi elektronik diperbolehkan bila:
1. Berlangsung antara orbital-orbital dalam bidang yang sama.
2. Selama transisi orientasi spin harus tetap.

Dalam satu molekul terdapat dua jenis orbital yakni Orbital Ikatan (bonding orbital) dan Orbital Anti-ikatan (antibonding orbital). Orbital ikatan di bagi menjadi beberapa jenis yakni orbital ikatan sigma (σ, = ikatan tunggal) dan orbital phi (π, = ikatan rangkap), sedangkan orbital nonikatan berupa elektron bebas yang biasanya dilambangkan dengan n. Orbital nonikatan umumnya terdapat pada molekul-molekul yang mengandung atom nitrogen, oksigen, sulfur dan halogen.
Orbital ikatan sigam (σ) dan orbital phi (π) terbentuk karena terjadinya tumpang tindih dua orbital atom atau orbital-orbital hibrida. Dari dua orbital atom dapat dibentuk dua orbital molekul yakni orbital ikatan dan orbital anti ikatan.
Dengan demikian jika suatu molekul mempunyai orbital ikatan maka molekul tersebut mempunyai orbital anti ikatan. Orbital anti-ikatan biasanya diberi notasi atau tanda asterisk atau bintang (*) pada setiap orbital yang sesuai. Orbital ikatan α orbital anti-ikatannya adalah α*, sedangkan orbital ikatan π orbital anti-ikatannya adalah π*.
Transisi elektronik atau perpindahan elektron dapat terjadi dari orbital ikatan ke orbital anti-ikatan atau dari orbital non-ikatan (nonbonding orbital) ke orbital anti-ikatan. Terjadinya transisi elektronik atau promosi elektron dari orbital ikatan ke orbital antiikatan tidak menyebabkan terjadinya disosiasi atau pemutusan ikatan, karena transisi elektronik terjadi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari pada vibrasi inti.
Pada transisi elektronik inti-inti atom dapat dianggap berada pada posisi yang tepat. Hal ini dikenal dengan prinsip Franck-Condon. Disamping itu dalam proses transisi ini tidak semua elektron ikatan terpromosikan ke orbital antiikatan.
Berdasarkan jenis orbital tersebut maka, jenis-jenis transisi elektronik dibedakan menjadi empat macam, yakni:
1) Transisi σ → σ*
2) Transisi π → π*
3) Transisi n → π*
4) Transisi n → σ*

Keterangan
· σ : senyawa-senyawa yang memiliki ikatan tunggal
· π : senyawa-senyawa yang memiliki ikatan rangkap
· n menyatakan orbital non-ikatan: untuk senyawa-senyawa yang memiliki elektron bebas.
· σ* dan π* merupakan orbital yang kosong (tanpa elektron), orbital ini akan terisi elektron ketika telah atau bila terjadi eksitasi elektron atau perpindahan elektron atau promosi elektron dari orbital ikatan.

Energi yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya transisi berbeda antara transisi satu dengan transisi yang lain. Transisi σ ke σ* memerlukan energi paling besar, sedangkan energi terkecil diperlukan untuk transisi dari n ke π.
Untuk memberikan gambaran dan memudahkan pemahaman tentang jenis transisi beserta perbandingan energi yang diperlukan dapat dilihat pada gambar berikut:
transisi elektronik

Pada gambar di atas transisi dari σ ke π* sebenarnya tidak ada. Transisi demikian dapat pula terjadi tapi sangat kecil sehingga tidak dapat diamati pada spektrum atau spektra. Karena bertolak belakang dengan kaidah seleksi.
Pada setiap jenis transisi elektronik yang terjadi, terdapat karakter dan melibatkan energi yang berbeda. Suatu kromofor dengan pasangan elektron bebas (n) dapat menjalani transisi dari orbital non-ikatan (n) ke orbital anti-ikatan, baik pada obital sigma bintang (α*) maupun phi bintang(π*). Sedangkan, kromofor dengan elektron ikatan rangap (menghuni orbital phi) akan menjalani transisi dari orbital π ke orbital π*. Demikian seterusnya untuk jenis transisi yang lain.
Dalam penentuan struktur molekul, tansisi σ → σ* tidak begitu penting karena puncak absorbsi berada pada daerah ultraviolet vakum yang berarti tidak terukur oleh peralatan atau instrumen pada umumnya.
Walaupun transisi π→π* pada ikatan ganda terisolasi mempunyai puncak absorbsi di daerah UV vakum tetapi transisi π→π* tergantung pada konjugasi ikatan ganda dengan suatu gugus fungsi substituen. Akibatnya transisi π→π* pada ikatan ganda terkonjugasi mempunyai puncak absorbsi pada daerah ultraviolet dekat, dengan panjang gelombang lebih besar dari 200 nm. Dengan demikian transisi yang penting dalam penentuan struktur molekul adalah transisi π→π* serta beberapa transisi n→π* dan n→σ*.
Anaslisis menggunakan spektrofotometer UV, senyawa-senyawa dengan kromofor yang sama, misalnya sama-sama ada ikatan rangkap atau ada elektron bebas, maka akan memberikan spektrum yang sama atau hampir sama walaupun strkturnya molekulnya berbeda. Contoh dapat di lihat pada Gambar berikut.
Pola pita absorpsi UV untuk dua senyawa dengan kromofor yang sama
Pola pita absorpsi UV untuk dua senyawa dengan kromofor yang sama

Pengaruh ikatan konjugasi pada lmaks
Sesuai dengan uraian tentang transisi π→π* pengaruh adanya ikatan konjugasi pada suatu struktur yang mempunyai ikatan π adalah menggesar lmaks ke nilai yang lebih besar atau pergeseran batokromat.
Hal ini dapat dilihat pada lmaks etana dan beberapa poliena pada tabel:
senyawa
lmaks (nm)
Etena
1,3-butadiena
1,3,5-heksatriena
1,3,5,7-oktatriena
165
217
251
304
Perpanjangan ikatan rangkap tekonjugasi menggeser λmaks ke arah makin besar karena makin mudah menjalani terjadinya transisi π→π* sehingga transisi ini hanya memerlukan energi yang kecil (panjang gelombang besar). Terjadinya pergeseran lmaks karena orbital π masing-masing ikatan π berinteraksi membentuk seperangkat orbital ikatan dan anti ikatan yang baru. Orbital-orbital baru tersebut mempunyai tingkat energi yang berbeda dengan orbital dalam ikatan ganda yang terisolasi.
Diagram skematik perbedaan pola transisi π→ π*pada satu ikatan rangkap C=C dan ikatan rangkap C=C terkonjugasi ditunjukan pada Gambar berikut.
Pola transisi elektronik suatu diena dan diena terkonjugasi
Gambar Pola transisi elektronik suatu diena dan diena terkonjugasi

Bila sistem konjugasi semakin panjang atau jumlah ikatan rangkap terkonjugasi semakin banyak maka perbedaan energi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi yang melibatkan transisi π→π* akan semakin kecil. Dengan demikian sistem konjugasi bertambah panjang maka energi yang diperlukan untuk transisi π→π* semakin kecil, sehingga puncak absorbsi akan terjadi pada panjang gelombang yang semakin besar.
Konjugasi yang cukup panjang dapat menggeser puncak absorbsi sampai ke panjang gelombang pada daerah sinar tampak sehingga suatu senyawa menjadi berwarna. Sebagai contoh likopena yang menyebabkan tomat berwarna merah. Dalam struktur likopena mempunyai sebelas ikatan rangkap terkonjugasi dengan lmaks 505 nm. Struktur likopena dapar dilihat pada Gambar.
lycopene_01
Gambar Struktur Likopena, zat pemberi warna merah pada beberapa sayuran dan buah-buahan seperti tomat

Perlu ditekankan, makin panjang konjugasi makin tidak “aktif” daerah UV, tetapi makin aktif pada daerah Visible. Misalnya, untuk delapan atau lebih ikatan rangkap terkonjugasi, maka absorpsi maksimum pada poliena yang demikian mengabsorpsi secara kuat di daerah spektrum visible.
Selain dengan perpanjangan sistem ikatan π, adanya substituen tertentu yang juga dapat menggeser lmaks ke panjang gelombang yang lebih besar atau menyebabkan geseran batokromat. Substituen tersebut dapat berupa gugus atau atom, misalnya gugus metil atau atom halogen. Khusus untuk konjugasi oleh metil dikenal sebagai hiperkonjugasi.

Pengaruh pelarut pada lmaks
Suatu senyawa yang diukur atau akan ditentukan strukturnya biasanya dalam bentuk encer. Pelarut yang biasa digunakan pada spektrofotometer UV adalah pelarut yang tidak mengabsorbsi atau transparan pada panjang gelombang UV.
Pelarut yang biasa digunakan pada spektrofotometer adalah etanol karena sifatnya yang transparan terhadap UV di atas 210 nm. Selain itu heksana (transparan di atas 210 nm), air (transparan di atas 205) dan dioksana juga sering digunakan sebagai pelarut pada spektrofotometer UV.
Air dan etanol termasuk pelarut polar sehingga dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar sedangkan heksana termasuk pelarut nonpolar sehingga dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, sesuai prinsip “Like Dissolve Like“.
Penggunaan pelarut dengan kepolaran yang berbeda menyebabkan posisi puncak absorbsi suatu senyawa bergeser. Dengan kata lain kepolaran pelarut berpengaruh pada lmaks suatu senyawa.
Kepolaran pelarut mempengaruhi λmaks karena kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pengaruh pelarut biasanya mencapai hingga 20 nm jika digunakan pelarut senyawa-senyawa karbonil.
Pada umumnya transisi π→π* menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun.
Akibatnya transisi π→π* suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi π→π* molekul itu dalam pelarut nonpolar. Pergantian pelarut heksana dengan etanol menggeser lmaks suatu senyawa ke nilai yang lebih besar dengan pergeseran sebesar 10–20 nm.
Untuk membantu memahami bagaimana suatu pelarut polar dapat menstabilkan suatu keadaan tereksitasi, dapat diambil contoh di sini adalah transisi π→π* dalam alkena. Pernyataan spesies pada keadaan dasar dan keadaan tereksitasi dengan konsep sederhana melalui struktur resonansinya sehingga membentuk spesies dipolar (lihat Gambar). Kondisi struktur sebenarnya pada Gambar bukan sebagai keadaan tereksitasi tetapi memberikan kontribusi untuk suatu struktur keadaan tereksitasi.
Struktur resonansi keadaan dasar dan eksitasi
Gambar Struktur resonansi keadaan dasar dan eksitasi untuk alkena

Transisi n→π*, pada keton menunjukan pengaruh yang berlawanan. Molekul-molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi.
Transisi n→π* molekul keton dalam pelarut air atau etanol (dalam pelarut polar) terjadi geseran biru (geseran hipsokromat) atau transisi dalan kedua pelarut polar tersebut memerlukan energi yang lebih besar (panjang gelombang lebih kecil) daripada transisi n→π* molekul keton dalam pelarut heksana.
Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara molekul air atau etanol dengan molekul keton pada keadaan dasar. Akibatnya transisi n→π* molekul keton dalam pelarut air atau etanol memerlukan energi yang lebih besar (lmaks yang lebih kecil).

Sistem Koloid

Di Industri terdapat berbagai produk yang komponennya tidak dapat saling melarutkan, namun tetap dapat bercampur secara homogen. Sebagai contoh, mayones dan cat. Mayones adalah campuran homogen dari air dan minyak. Sedangkan cat adalah campuran homogen zat padat dan zat cair. Produk-produk demikian merupakan sistem koloid.
Fenomena sistem koloid juga dapat dijumpai di alam dan dalam kehidupan kita sehari-hari. Udara di atmosfer bumi mengandung debu, partikel-partikel zat padat dan zat cair lainnya yang tersebar secara homogen membentuk suatu sistem koloid. Hal inilah yang menyebabkan langit terkadang tampak berwarna biru dan merah-orange. Di dalam tubuh manusia, ginjal berfungsi mengatur komposisi zat-zat kimia dalam darah. Dengan mengambil zat-zat yang diperlukan dan membuang zat-zat yang berbahaya dalam darah. Fungsi ginjal tersebut memanfaatkan sistem koloid. Pemahaman sistem koloid pada ginjal ini telah membawa pada penemuan alat dialisator pengganti fungsi ginjal untuk pasien gagal ginja.
A. Komponen dan Pengelompokan Sistem Koloid
1. Pengertian Sistem Koloid
Koloid adalah suatu campuran zat heterogen antara dua zat atau lebih dimana partikel-partikel zat yang berukuran koloid (fase terdispersi) tersebar merata dalam zat lain (medium pendispersi). Ukuran partikel koloid berkisar antara 1-100 nm (10-7 – 10-5 cm). Bentuk partikel koloid dapat bermacam-macam seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan ukuran koloid dapat berupa diameter, panjang, lebar ataupun tebal.
Perbedaan larutan sejati, koloid dan Suspensi dapat dirangkum sebagai berikut.
Aspek
Larutan Sejati
Sistem Koloid
Suspensi Kasar
Jumlah fase 1 2 2
Distribusi partikel Homogen Heterogen Heterogen
Ukuran partikel < 10-7 cm 10-7 – 10-5 cm > 10-5 cm
Penyaringan Tidak dapat disaring Dapat disaring jika dengan penyaring ultra Dapat disaring
Kestabilan Stabil Stabil Tidak stabil
Contoh Larutan gula Mayones Campuran pasir dan air
2. Jenis-Jenis Koloid
Sistem koloid terdiri dari dua fase, yaitu fasa dispersi dan medium pendispersi. Kedua fasa tersebut, dapat berwujud zat cair, zat padat atau berwujud gas. Berdasarkan hubungan antar fase dispersi dan medium dispersi, maka koloid dapat kita kelompokan
  1. Koloid yang dibentuk oleh fasa terdispersinya gas dalam medium pendispersinya cair adalah buih atau busa. Contoh untuk koloid ini adalah putih telur yang dikocok dengan kecepatan tinggi.
  2. Buih atau busa padat adalah jenis koloid yang fasa terdispersinya gas dan medium pendispersinya padat, jenis koloid ini dapat berupa batu apung dan karet busa.
  3. Koloid dengan fasa terdispersi cair dan medium pendispersinya gas dikenal dengan aerosol cair. Contoh koloid ini adalah kabut, awan, pengeras rambut (hair spray) dan parfum semprot.
  4. Emulsi merupakan jenis koloid yang dibentuk oleh fasa terdispersi cair di dalam medium pendispersi cair. Emulsi dapat kita temukan seperti susu, santan, mayonaise dan minyak ikan.
  5. Koloid yang disusun oleh fasa terdispersi cair dalam medium pendispersi padat disebut dengan emulsi padat atau gel. Koloid ini sering kita jumpai dalam keju, mentega, jeli, semir padat ataupun lem padat.
  6. Aerosol padat merupakan yang disusun oleh fasa terdispersi padat dengan medium dispersinya berupa gas. Contohnya asap dan debu di udara.
  7. Sol merupakan koloid yang fasa terdispersinya berwujud padat dengan medium pendispersinya berwujud cair. Sol paling banyak kita jumpai seperti, agar-agar panas, cat, kanji, putih telur, sol emas, sol belerang, lem dan lumpur.
  8. Jenis koloid yang terakhir adalah koloid yang memiliki fasa terdispersi dan medium pendispersinya zat padat, jenis koloid ini disebut dengan sol padat. Contoh sol padat adalah; batuan berwarna, gelas berwarna, tanah, perunggu, kuningan dan lain-lain.
Sebagai catatan, jika fase terdispersi dan medium pendispersi sama-sama berupa gas, maka campurannya tergolong larutan.
Paduan logam baja tahan karat (stainless steel) termasuk sol padat dengan fase terdispersi padat (logam Ni dan Cr) dan medium pendispersi padat (logam Fe)
Bahan styrofoam termasuk buih padat dengan fase terdispersi gas (CO2, udara) dan medium   pendispersi padat (polistirena)

Obat nyamuk dalam kemasan kaleng semprot termasuk aerosol cair dengan fase terdispersi cair dan medium pendispersi gas (udara)
B. Koloid Sol
Sol adalah suatu jenis koloid dengan fase terdispersi padat dan medium pendispersi berupa zat padat, cair atau gas. Ada 3 jenis sol, yaitu:
  • Sol padat
  • Sol cair (sol)
  • Sol gas (aerosol padat)
 1. Sifat-sifat Koloid Sol
  • Efek Tyndall
gambar 11.9Sifat penghamburan cahaya oleh sistem koloid ditemukan oleh John Tyndall (1820-1893), seorang ahli fisika Inggris. Efek Tyndall digunakan untuk membedakan sistem koloid dari larutan sejati. Dalam kehidupan sehari-hari efek Tyndall dapat diamati pada langit yang berwarna biru di siang hari karena adanya pantulan cahaya dari partikel koloid di udara. Demikian pula pada saat matahari terbenam pantulan partikel di udara memberikan warna jingga. Apabila sinar diarahkan pada sistem koloid dan larutan sejati, contohnya koloid kanji dan larutan Na2Cr2O7, maka sinar tersebut akan dihamburkan oleh sistem koloid tetapi tidak dihamburkan oleh larutan sejati.
  • Gerak Brown
gambar 11.8
Di bawah mikroskop ultra, partikel koloid akan tampak sebagai titik cahaya kecil sesuai dengan sifatnya yang menghamburkan cahaya. Jika pergerakan titik cahaya atau partikel tersebut diikuti, ternyata partikel tersebut bergerak terus menerus dengan gerakan zig zag. Gerakan acak ini disebut gerak Brown, yang ditemukan oleh seorang ahli botani Inggris, Robert Brown pada tahun 1827. Adanya gerak Brown membuat partikel-partikel ini tidak memisahkan diri dari medium pendispersinya.
  • Adsorpsi Koloid
gambar 11.10Adsorpsi terjadi apabila partikel-partikel sol padat ditempatkan dalam zat cair atau gas, maka partikel-partikel zat cair atau gas akan terkonsentrasi pada permukaan zat padat tersebut.
Partikel koloid sol memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi partikel-partikel pendispersi pada permukaannya, baik itu partikel netral atau partikel bermuatan (kation dan anion). Daya adsorpsi partikel koloid tergolong besar karena partikel-partikelnya memberikan suatu permukaan yang sangat luas. Pada proses penyerapan air oleh kapur tulis, sol Fe(OH)3 dalam air mengandung ion Fe3+ yang diadsorpsi. Sedangkan untuk yang bermuatan negatif adalah molekul As2S3, ion S2- yang diadsorpsi. Pemanfaatan sifat adsorpsi dari koloid anatara lain dalam penjernihan air, misalnya penggunaan tawas untuk mengikat kotoran atau zat warna dari tanah.
  • Muatan Koloid Sol
gambar 11.11Semua partikel koloid memiliki muatan sejenis (positif atau negatif). Oleh karena muatannya sejenis, maka terdapat gaya tolak-menolak antar partikel koloid. Hal ini mengakibatkan partikel-partikel koloid tidak dapat bergabung sehingga memberikan kestabilan pada sistem koloid. Partikel-partikel koloid mendapatkan muatan listrik dengan proses adsorpsi dan proses ionisasi gugus permukaan partikelnya.

Muatan Beberapa Partikel Koloid dalam Medium Pendispersi Air
Partikel koloid bermuatan positif
Partikel koloid bermuatan negatif
Fe(OH)3
Al(OH)3
Hemoglobin
As2S3
Logam seperti Au, Ag, Pt
Tanah liat
  • Koagulasi
Partikel-partikel koloid bersifat stabil karena memiliki muatan listrik yang sejenis. Apabila muatan listrik tersrbut hilang maka partikel-partikel koloid tersebut akan bergabung membentuk gumpalan. Proses penggumpalan ini disebut flokulasi dan gumpalannya disebut flok. Gumpalan ini akan mengendap akibat pengaruh gravitasi. Proses penggumpalan partikel-partikel koloid dan pengendapannya ini disebut koagulasi. Peristiwa koagulasi terjadi pada kehidupan sehari-hari seperti pada pembentukan delta. tanah liat atau lumpur terkoagulasi karena adanya elektrolit air laut. Proses koagulasi dari karet juga terjadi karena adanya penambahan asam formiat kadalam lateks. Demikian pula halnya dengan lumpur koloid dapat dikoagulasikan dengan tawas yang bermuatan.
Penghilangan muatan listrik pada partikel koloid ini dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu:
a. Menggunakan prinsip elektroforesis
Proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan berlawanan. Ketika partikel-partikel ini mencapai elektrode, maka partikel-partikel tersebut akan kehilangan muatannya sehingga menggumpal dan mengendap di elektrode.
b. Penambahan koloid lain dengan muatan berlawanan
Apabila suatu sistem koloid bermuatan dicampur dengan sistem koloid lain yang bermuatan negatif maka kedua sistem koloid tersebut akan saling mengadsorpsi dan menjadi netral. Akibatnya, terbentuk koagulasi.
c. Penambahan elektrolit
Jika suatu elektrolit ditambahkan ke dalam sistem koloid maka partikel-partikel koloid yang bermuatan negatif akan menarik ion positif (kation) dari elektrolit. Sementara itu. Partikel-patikel koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion) dari elektrolit. Hal ini menyebabkan partikel-partikel koloid tersebut dikelilingi oleh lapisan kedua yang memiliki muatan berlawanan dengan muatan lapisan pertama. Apabila jarak antara lapisan pertama dan kedua cukup dekat maka muatan keduanya akan hilang sehingga terjadi koagulasi.
d. Pendidihan
Sol, seperti belerang dan perak halida yang terdispersi dalam air dapat mengalami koagulasi dengan mendidihkannya. Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan jumlah tumbukan antara partikel-partikel sol dengan molekul-molekul air bertambah banyak. Hal ini menyebabkan lepasnya elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan partikel koloid. Akibatnya, partikel-partikel koloid menjadi tidak bermuatan sehingga terjadi koagulasi.
  • Koloid Pelindung
Berdasarkan perbedaan daya adsorpsi dari fase terdispersi terhadap medium pendispersinya yang berupa zat cair, koloid dapat dibedakan menjadi dua jenis. Sistem koloid dimana partikel terdispersinya mempunyai daya adsorpsi yang relatif besar disebut koloid liofil sedangkan sistem koloid dimana partikel terdispersinya mempunyai daya adsorpsi yang relatif kecil disebut kolid liofob. Koloid liofil bersifat lebih stabil sedangkan koloid liofob bersifat kurang stabil. Koloid liofil yang berfungsi sebagsi koloid pelindung. Contoh menarik adalah penambahan koloid liofil ke dalam liofob, dimana koloid liofob terbungkus tidak mengumpul, seperti pembuatan es krim agar tidak menggumpat ditambahkan gelatin. Demikian pula halnya dengan cat dan tinta memiliki koloid pelindung agar tidak mengendap atau menggumpal.
Berdasarkan affinitas partikel-partikel fase dispersi terhadap medium dispersi, maka terdapat dua macam sistem koloid:
  1. Koloid Liofil (suka cairan) : adalah koloid yang memiliki gaya tarik menarik antara partikel-partikel terdispersi dengan medium pendispersi. Medium pendispersi dalam liofil sering disebut juga dengan hidrofil. Partikel koloid juga dapat mengadsorpsi molekul cairan sehingga terbentuk selubung disekeliling partikel koloid. Keberaadan selubung inilah yang menyebabkan koloid liofil lebih stabil.
  2. Koloid Liofob (takut cairan): adalah koloid yang memiliki gaya tarik menarik yang lemah antara partikel-partikel terdispersi dengan medium pendispersi. Medium pendispersinya sering disebut dengan hidrofob. Pertikel-partikel koloid tidak dapat mengadsorpsi pelarutnya sehingga koloid ini kurang stabil dan dapat dengan mudah terkoagulasikan dengan penambahan elektrolit.
Perbedaan Sifat-Sifat Sol Liofil/ Hidrofil dan Sol Liofob/ Hidrofob
Sifat-sifat
Sol liofil/ hidrofil
Sol liofob/ hidrofob
1. Pembuatan Sol liofil dapat dibuat langsung dengan mencampurkan fase terdispersi dengan medium pendispersinya. Sol liofob tidak dapat dibuat hanya dengan mencampurkan fase terdispersi dan medium pendispersinya perkecualiannya adalah pada konsentrasi yang kecil
2. Muatan partikel Partikel-partikel sol hidrofil mempunyai muatan yang kecil atau tidak bermuatan Partikel-partikel sol hidrofob memiliki muatan positif atau negatif.
3. Adsorpsi medium pendispersi (proses solvasi/ hidrasi) Partikel-partikel sol hidrofil mengadsorpsi medium pendispersinya. Akibatnya terbentuk lapisan medium pendispersi yang teradsorpsi di sekeliling partikel. Proses ini disebut solvasi/ hidrasi Partikel-partikel sol hidrofob tidak mengadsorpsi medium pendispersinya. Muatan partikel-partikel sol diperoleh dari adsorpsi partikel-partikel ion yang bermuatan listrik
4. Viskositas Viskositas sol liofil lebih besar dibandingkan viskositas medium pendispersinya Viskositas sol hidrofob hampir sama dengan viskositas medium pendispersinya
5. Penggumpalan Tidak mudah menggumpal dengan penambahan elektrolit Mudah menggumpal dengan penambahan elektrolit
6. Efek Tyndall Sol liofil memberikan efek Tyndall yang lemah Sol liofob dapat memberikan efek Tyndall yang jelas
7. Migrasi dalam medan listrik Partikel-partikel sol liofil dapat bermigrasi ke anode, katode atau tidak bermigrasi sama sekali dalam medan listrik Partikel-partikel sol liofob akan bergerak ke anode atau ke katode. Hal ini tergantung jenis muatan partikel
2. Pembuatan Koloid Sol
Ada dua metode dasar pembuatan sistem koloid sol, yaitu:
a. Metode kondensasi, adalah metode dimana partikel-partikel kecil larutan sejati (atom, ion atau molekul) bergabung membentuk partikel-partikel berukuran koloid. Hal ini dilakukan dengan reaksi kimia (dekomposisi rangkap, hidrolisis dan redoks) atau penggantian pelarut. Contoh:
Sol AgCl dibuat dengan mencampurkan larutan AgNO3 encer dan larutan HCl encer
AgNO3(aq) + HCl(aq) –> AgCl (koloid) + HNO­3(aq)   (reaksi dekomposisi rangkap)
Sol Al(OH)3 dapat diperoleh dari reaksi hidrolisis garam Al dalam air mendidih
AlCl3(aq) + 3H2O(l) –> Al(OH)3 (koloid) + 3HCl(aq)
Cara Busur Bredig
Cara mekanik adalah penghalusan partikel-partikel kasar zat padat dengan penggilingan untuk membentuk partikel-partikel berukuran koloid.
Peptisasi adalah proses dispersi endapan menjadi sistem koloid dengan penambahan zat pemecah yang dapat berupa elektrolit.
Cara busur Bredig digunakan untuk membuat sol logam seperti Ag, Au dan Pt. Logam yang akan diubah menjadi partikel-partikel koloid digunakan sebagai elektrode.
 3. Pemurnian Koloid Sol
Partikel-partikel zat terlarut yang tidak diinginkan dapat mengganggu kestabilan koloid sehingga harus dihilangkan/ dimurnikan. Beberapa metode pemurnian yang dapat dilakukan antara lain:
  • Dialisis
Proses dialisis
Pergerakan ion-ion dan molekul-molekul kecil melalui selaput semipermeabel disebut dialisis. Proses dialisis untuk pemisahan partikel-partikel koloid dan zat terlarut dijadikan dasar bagi pengembangan dialisator sebagi mesin pencuci darah bagi penderita gagal ginjal.
  • Elektrodialisis
Pada dasarnya proses elektrodialisis merupakan proses dialisis di bawah pengaruh medan listrik dan hanya dapat digunakan untuk memisahkan partikel-partikel zat terlarut elektrolit. Pada proses elektrodialisis, listrik tegangan tinggi dialirkan melalui dua layar logam yang menyokong selaput semipermeabel. Akibatnya, partikel-partikel zat terlarut dalam sistem koloid berupa ion-ion akan bergerak menuju elektrode dengan muatan berlawanan.
  • Penyaring Ultra
Partikel-partikel koloid tidak dapat disaring dengan penyaring biasa seperti kertas saring karena pori-pori kertas saring terlalu besar dibandingkan ukuran partikel-partikel koloid. Namun, apabila kertas saring tersebut diresapi dengan selulosa seperti selofan, maka ukuran pori-pori kertas saring akan berkurang. Kertas saring yang telah dimodifikasi ini disebut penyaring ultra.
C. Koloid Emulsi
Emulsi adalah suatu jenis koloid dengan fase terdispersi berupa zat cair dan medium pendispersi berupa zat padat, zat cair atau gas. Ada 3 jenis emulsi, yaitu:
1. Emulsi gas (aerosol cair)
Emulsi gas atau aerosol cair merupakan emulsi dalam medium pendispersi gas. Aerosol cair seperti hairspray dan obat nyamuk dalam kemasan kaleng, dapat membentuk sistem koloid dengan bantuan bahan pendorong atau propelan aerosol seperti CFC. Aerosol cair juga mempunyai sifat-sifat seperti sol liofob, yaitu efek Tyndall, gerak Brown dan kestabilan dengan muatan partikel.
2. Emulsi cair (emulsi)
Emulsi cair melibatkan campuran dua zat cair yang tidak dapat saling melarutkan, yaitu zat cair polar dan zat cair non polar. Emulsi cair yang terdiri dari air dan minyak dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu emulsi minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak.
Beberapa sifat emulsi yang penting:
  • Demulsifikasi
Kestabilan emulsi cair dapat rusak akibat pemanasan, pendinginan, proses sentrifugasi, penambahan elektrolit dan perusakan zat pengemulsi.
Pada proses demulsifikasi dapat terbentuk krim atau sedimentasi. Pembentukan krim dijumpai pada emulsi minyak dalam air. Apabila kestabilan emulsi ini rusak, maka partikel-partikel minyak akan naik ke atas membentuk krim. Sedangkan sedimentasi terjadi pada emulsi air dalam minyak. Apabila kestabilan emulsi ini rusak, maka partikel-partikel air akan turun ke bawah.
  • Pengenceran
Emulsi dapat diencerkan dengan penambahan sejumlah medium pendispersinya. Sebaliknya, fase terdispersi yang dicampurkan akan spontan membentuk lapisan terpisah. Sifat ini dapat digunakan untuk menentukan jenis emulsi.
3. Emulsi padat (gel)
Gel merupakan emulsi dalam medium pendispersi zat padat. Gel dapat dianggap terbentuk akibat penggumpalan sebagian sol cair. Pada penggumpalan ini, partikel-partikel sol akan bergabung membentuk suatu rantai panjang. Rantai ini kemudian akan saling bertaut sehingga terbentuk suatu struktur padatan dimana medium pendispersi cair terperangkap dalam lubang-lubang struktur tersebut. Dengan demikian, terbentuk suatu massa berpori yang semi-padat dengan struktut gel.
Beberapa sifat gel yang penting adalah
  • Hidrasi. Gel elastis yang terhidrasi dapat diubah kembali menjadi gel elastis dengan menabahkan zat cair. Sebaliknya, gel non elastis yang terdehidrasi tidak dapat diubah kembali ke bentuk awal.
  • Menggembung (swelling). Gel elastis yang terhidrasi sebagian akan menyerap air apabila dicelupkan ke dalam zat cair. Akibatnya volum gel bertambah atau menggembung.
  • Sineresis. Gel anorganik akan mengerut jika dibiarkan dan diikuti penetesan pelarut. Proses ini disebut sineresis.
  • Tiksotropi. Beberapa gel dapat diubah kembali menjadi sol cair apabila diberi agitasi (diaduk). Sifat ini disebut tiksotropi. Contohnya: gel besi oksida, perak oksida dan cat tiksotropi modern.
D. Koloid Buih
Buih adalah suatu jenis koloid dengan fase terdispersi berupa gas dan medium pendispersi berupa zat cair atau zat padat. Berdasarkan medium pendispersinya tersebut, buih dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Buih cair (buih)
Buih cair adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Fase terdispersi gas biasanya berupa udara atau CO2 yang terbentuk dari fermentasi. Kestabilan buih diperoleh dari adanya zat pembuih (surfaktan). Zat pembuih ini teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan.
Beberapa sifat-sifat buih cair yang penting adalah
  • Struktur buih cair berubah dengan waktu. Hal ini dapat disebabkan oleh:
            – Drainase atau pemisahan medium pendispersi (zat cair) akibat kerapatan gas dan zat cair yang jauh berbeda
            – Rusaknya film antara dua gelembung gas
           – Ukuran gelembung gas menjadi lebih besar akibat difusi gelembung gas yang kecil ke gelembung gas yang besar

  • Struktur buih cair dapat berubah jika diberi gaya dari luar. Apabila gaya tersebut kecil, maka struktur buih akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi.
2. Buih padat
Buih padat adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat padat. Kestabilan buih padat juga diperoleh dari zat pembuih (surfaktan). Beberapa buih padat yang kita kenal:
  • Batu apung, merupakan buih padat yang terbentuk akibat proses solidifikasi gelas vulkanik
  • Roti. Pembuatan roti melibatkan proses peragian yang akan melepas gas CO2. Zat pembuih protein gluten dari tepung kemudian akan membentuk lapisan tipis mengelilingi gelembung-gelembung CO2 untuk membentuk buih padat
E. Koloid dalam Kehidupan Sehari-hari
Sistem koloid banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti di alam (tanah, air dan udara), industri, kedokteran, sistem hidup dan pertanian. Aplikasi koloid dalam bidang industri khususnya produksi cukup luas karena sifat karakteristik koloid yang penting, yaitu dapat digunakan untuk mencampur zat-zat yang tidak dapat saling melarutkan secara homogen dan bersifat stabil untuk produksi skala besar.
 Contoh aplikasi kimia koloid dalam industri
Jenis Industri
Contoh Aplikasi
Industri makananIndustri kosmetika dan perawatan tubuhIndustri cat Industri kebutuhan rumah tangga
Industri pertanian
Industri farmasi
Keju, mentega, susu, saus saladKrim, pasta gigi, sabunCat Sabun, deterjen
Pestisida, insektisida
Minyak ikan, penisilin
Beberapa aplikasi sistem koloid lainnya:
  • Pemutihan gula
Gula tebu yang masih berwarna dapat diputihkan dengan melarutkan gula ke dalam air, kemudian larutan dialirkan melalui sistem koloid tanak diatomae atau karbon. Partikel-partikel koloid kemudian akan mengadsorpsi zat warna tersebut.
  • Pengambilan partikel koloid asap dan debu dari gas buangan pabrik
Pengendap cottrell dapat digunakan untuk memisahkan partikel-partikel koloid seperti asap dan debu yang terkandung dalam gas buangan pabrik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi zat-zat polusi udara dan untuk memperoleh kembali debu berharga seperti debu arsenik oksida.
  • Pembentukan delta di muara sungai
Air sungai mengandung partikel-partikel koloid pasir dan tanah liat yang bermuatan negatif. Sedangkan air laut mengandung ion-ion Na+, Mg2+ dan Ca2+ yang bermuatan positif. Karena air sungai bertemu air laut, maka ion-ion positif dari air laut akan menetralkan muatan pasir dan tanah liat. Akibatnya, terjadi koagulasi yang membentuk suatu delta.
  • Penggumpalan darah
Darah mengandung sejumlah koloid protein yang bermuatan negatif. Jika terdapat luka kecil, maka luka tersebut dapat diobati dengan pensil stiptik atau tawas yang mengandung ion-ion Al3+ dan Fe3+. Ion-ion ini akan menetralkan muatan-muatan partikel koloid protein dan membantu penggumpalan darah.
  • Penjernihan air
Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan penambahan tawas Al2(SO4)3. Tawas mengandung ion Al3+ yang cukup kecil tetapi bermuatan. Ion Al3+ akan terhidrolisis membentuk partikel koloid Al(OH)3 yang bermuatan positif.
Al3+ + 3H2O –> Al(OH)3 + 3H+
Al(OH)3 akan menghilangkan muatan negatif dari partikel-partikel koloid lumpur sehingga terjadi koagulasi. Al(OH)3 akan mnegendap bersama-sama lumpur. Hal ini digunakan dalam proses pengolahan air bersih, yang diberikan pada penjelasan berikut.
Proses pengolahan air tergantung pada mutu baku air (air belum diolah). Namun pada dasarnya melalui 4 tahap pengolahan. Tahap pertama adalah pengendapan, yaitu air baku dialirkan perlahan-lahan sampai benda-benda yang tak larut mengendap. Pengendapan ini memerlukan tempat yang luas dan waktu yang lama. Benda-benda yang berupa koloid  tidak dapat diendapkan dengan cara itu.
Pada  tahap kedua, setelah suspensi kasar terendapkan, air yang mengandung koloid diberi zat yang dinamakan koagulan. Koagulan yang banyak digunakan adalah aluminium sulfat, besi (II) sulfat, besi (III) klorida, dan klorinasi koperos (FeCl2Fe2(SO4)3). Pemberian koagulan selain untuk mengendapkan partikel-partikel koloid, juga untuk menjadikan  pH air sekitar 7 (netral). Jika pH air berkisar antara 5,5–6,8, maka yang digunakan adalah aluminium sulfat, sedangkan untuk senyawa besi sulfat dapat digunakan pada pH air 3,5–5,5.
Pada  tahap ketiga, air yang telah diberi koagulan mengalami proses pengendapan, benda-benda koloid yang telah menggumpal dibiarkan mengendap. Setelah mengalami pengendapan, air tersebut disaring melalui penyaring pasir sehingga sisa endapan yang masih terbawa di dalam air akan tertahan pada saringan pasir tersebut.
Pada  tahap terakhir, air jernih yang dihasilkan diberi sedikit air kapur untuk menaikkan pHnya, dan untuk membunuh bakteri diberikan kalsium hipoklorit (kaporit) atau klorin (Cl2).
Web hosting

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls