Spektrofotometri UV (ultraviolet)
7 Juli 2011
Posted by pada
Spektrofotometri
UV merupakan salah satu metode analisis yang dilakukan dengan pangjang
gelombang 100-400 nm atau 595–299 kJ/mol. Sinar ultraviolet atau sinar
ungu terbagi menjadi dua jenis yaitu
· Ultraviolet jauh
· Ultaviolet dekat
Ultraviolet
jauh memiliki rentang panjang gelombang ± 10 – 200 nm, sedangkan
ultraviolet dekat memiliki rentang panjang gelombang ± 200-400 nm.
Cahaya UV tidak bisa dilihat oleh manusia, namun beberapa hewan,
termasuk burung, reptil dan serangga seperti lebah dapat melihat sinar
pada panjang gelombang UV.
Pada
spektrofotometer UV biasanya menggunakan lampu deuterium atau disebut
juga heavi hidrogen sebagai sumber cahaya. Deuterium merupakan salah
satu isotop hidrogen yang memiliki 1 proton dan 1 neutron pada intinya.
Deuterium berbeda dengan hidrogen yang hanya memiliki 1 neutron tanpa
proton. Air yang atom hidrogennya merupakan isotop deuterium dinamakan
air berat (D2O).
Air berat
digunakan sebagai moderator neutron dan pendingin pada reaktor nuklir.
Deuterium juga berpotensi sebagai bahan bakar fusi nuklir komersial.
Perlu diketahui air berat yang dibekukan (es) dapat tenggelam dalam air
karena massa jenisnya lebih besar dari massa jenis air. Hal ini, tentu berbeda dengan es yang dibuat dari air (H2O) yang mengapung bila dimasukan dalam air karena massa jenisnya lebih kecil dari air.
Zat yang dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri UV adalah zat dalam bentuk larutan dan zat tersebut tidak tampak berwarna.
Jika zat tersebut berwarna maka perlu direaksikan dengan reagen
tertentu sehingga dihasilkan suatu larutan tidak berwarna. Namun
biasanya zat yang berwarna lebih banyak dianalisis menggunakan
spektrofotometri sinar tampak.
Senyawa-senyawa
organik sebagian besar tidak tidak berwarna sehingga spektrofotometer
UV lebih banyak digunakan dalam analisis senyawa organik khususnya dalam
penentuan struktur senyawa organik.
Larutan-larutan tidak berwarna yang dianalisis menggunakan spektrofotometer UV tidak boleh ada partikel koloid ataupun suspensi.
Karena adanya partikel-partikel koloid ataupun suspensi akan
memperbesar absorbansi, akibatnya bila dihubungkan dengan rumus yang
diturunkan dari hukum Lambaert-Beer
konsentrasi zat yang dianalisis makin besar dan apabila digunakan untuk
penentuan struktur suatu senyawa maka pita pada spektrum akan melebar
dari yang sesungguhnya.
Analisis
menggunakan sinar ultraviolet biasanya dilakukan menggunakan ultraviolet
dekat, sedangkan analisis menggunakan ultraviolet jauh maka instrumen
yang digunakan harus dalam keadaan vakum.
Hal ini disebabkan jika digunakan ultraviolet jauh maka udara akan ikut menyerap panjang gelombang yang digunakan.
Akbatnya kesalahan yang dilakukan makin fatal, karena jika udara ikut
menyerap maka absorbansi yang dihasilkan akan makin besar, jika hal ini
dihubungkan dengan hukum Lamber-Beer maka konsentrasi zat yang
dianalisis lebih tinggi dari yang seharusnya.
Perhitungan
konsentrasi suatu spesi yang ada dalam suatu larutan dapat dilakukan
dengan cara kurva kalibarasi seperti yang telah dijelaskan di Spektrofotometri sinar tampak (Visible).
Penggunaan UV Untuk Penentuan Struktur Molekul
Penggunaan UV
untuk analisis senyawa organik (penentuan struktur senyawa organik)
terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan yaitu:
1)
Kromofor. Kromofor berasal dari bahasa latin yang artinya
“chromophorus” yang berarti pembawa warna. Pada mulanya pengertian
kromofor digunakan untuk sistem yang menyebabkan terjadinya warna pada
suatu senyawa.
Kemudian diperluas menjadi suatu gugus fungsi yang mengabsorbsi radiasi
elektromagnetik, termasuk yang tidak memberikan warna. Jadi kromofor
adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi
elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah
cahaya tampak. Contoh kromofor: C=O, C=C, N=N dan NO2.
2) Auksokrom (Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang berpengaruh (namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak cukup signifikan pada absorbansinya (lmaks
dan e ). Contoh gugus auksokrom adalah : –OH, –OR, dan –NHR. Secara
umum gugus-gugus auksokrom dicirikan oleh adanya pasangan elektron bebas
yang terdapat pada gugus yang bersangkutan.
3) Geseran batokromat atau geseran batokromik (Bathochromic shift) atau geseran merah, yakni geseran atau perubahan lmaks ke arah yang lebih besar. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah adanya perubahan struktur, misalnya adanya auksokrom atau adanya pergantian pelarut.
4) Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift) atau pergeseran hipokromik atau pergeseran biru, yakni geseran atau perubahan lmaks
ke arah yang lebih kecil. Munculnya gejala ini juga sering disebabkan
oleh adanya penghilangan auksokrom atau oleh adanya pergantian pelarut.
dari
penjelasan-penjelasan dapat disimpulkan, suatu auksokrom dan pergantian
pelarut dapat menimbulkan geseran batokromat dan hipsokromat
|
Transisi Elektronik
Energi yang
dimiliki sinar UV mampu menyebabkan perpindahan elektron (promosi
elektron) atau yang disebut transisi elektronik. Transisi elektronik
dapat diartikan sebagai perpindahan elektron dari satu orbital ke
orbital yang lain.
Disebut
transisi elektronik karena elektron yang menempati satu orbital dengan
energi terendah dapat berpindah ke orbital lain yang memiliki energi
lebih tinggi jika menyerap energi, begitupun sebaliknya elektron
dapatberpindah dari orbital yang memiliki energi lebih rendah jika
melepaskan energi. Energi yang diterima atau diserap berupa radiasi elektromagnetik.
Berdasarkan
mekanika kuantum transisi elektronik yang dibolehkan atau tidak
dibolehkan (terlarang) disebut kaidah seleksi. Berdasarkan kaidah
seleksi, suatu transisi elektronik termasuk:
1. Transisi diperbolehkan bila nilai ε sebesar 103 sampai 106.
2. Transisi terlarang bila nilai ε sebesar 10-3 sampai 103.
Selain dengan
melihat harga ε kaidah seleksi dapat dapat dinyatakan dengan simetri dan
spin. Berdasarkan simetri dan spin suatu transisi elektronik
diperbolehkan bila:
1. Berlangsung antara orbital-orbital dalam bidang yang sama.
2. Selama transisi orientasi spin harus tetap.
Dalam satu molekul terdapat dua jenis orbital yakni Orbital Ikatan (bonding orbital) dan Orbital Anti-ikatan (antibonding orbital). Orbital
ikatan di bagi menjadi beberapa jenis yakni orbital ikatan sigma (σ, =
ikatan tunggal) dan orbital phi (π, = ikatan rangkap), sedangkan orbital
nonikatan berupa elektron bebas yang biasanya dilambangkan dengan n. Orbital nonikatan umumnya terdapat pada molekul-molekul yang mengandung atom nitrogen, oksigen, sulfur dan halogen.
Orbital ikatan
sigam (σ) dan orbital phi (π) terbentuk karena terjadinya tumpang tindih
dua orbital atom atau orbital-orbital hibrida. Dari dua orbital atom
dapat dibentuk dua orbital molekul yakni orbital ikatan dan orbital anti
ikatan.
Dengan demikian
jika suatu molekul mempunyai orbital ikatan maka molekul tersebut
mempunyai orbital anti ikatan. Orbital anti-ikatan biasanya diberi
notasi atau tanda asterisk atau bintang (*) pada setiap orbital yang
sesuai. Orbital ikatan α orbital anti-ikatannya adalah α*, sedangkan
orbital ikatan π orbital anti-ikatannya adalah π*.
Transisi
elektronik atau perpindahan elektron dapat terjadi dari orbital ikatan
ke orbital anti-ikatan atau dari orbital non-ikatan (nonbonding orbital)
ke orbital anti-ikatan. Terjadinya transisi elektronik atau promosi
elektron dari orbital ikatan ke orbital antiikatan tidak menyebabkan
terjadinya disosiasi atau pemutusan ikatan, karena transisi elektronik
terjadi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari pada vibrasi inti.
Pada transisi
elektronik inti-inti atom dapat dianggap berada pada posisi yang tepat.
Hal ini dikenal dengan prinsip Franck-Condon. Disamping itu dalam proses
transisi ini tidak semua elektron ikatan terpromosikan ke orbital
antiikatan.
Berdasarkan jenis orbital tersebut maka, jenis-jenis transisi elektronik dibedakan menjadi empat macam, yakni:
1) Transisi σ → σ*
2) Transisi π → π*
3) Transisi n → π*
4) Transisi n → σ*
Keterangan
· σ : senyawa-senyawa yang memiliki ikatan tunggal
· π : senyawa-senyawa yang memiliki ikatan rangkap
· n menyatakan orbital non-ikatan: untuk senyawa-senyawa yang memiliki elektron bebas.
· σ* dan π*
merupakan orbital yang kosong (tanpa elektron), orbital ini akan terisi
elektron ketika telah atau bila terjadi eksitasi elektron atau
perpindahan elektron atau promosi elektron dari orbital ikatan.
Energi yang
diperlukan untuk menyebabkan terjadinya transisi berbeda antara transisi
satu dengan transisi yang lain. Transisi σ ke σ* memerlukan energi
paling besar, sedangkan energi terkecil diperlukan untuk transisi dari n
ke π.
Untuk
memberikan gambaran dan memudahkan pemahaman tentang jenis transisi
beserta perbandingan energi yang diperlukan dapat dilihat pada gambar
berikut:
Pada gambar di
atas transisi dari σ ke π* sebenarnya tidak ada. Transisi demikian dapat
pula terjadi tapi sangat kecil sehingga tidak dapat diamati pada
spektrum atau spektra. Karena bertolak belakang dengan kaidah seleksi.
Pada setiap jenis transisi elektronik yang terjadi, terdapat karakter dan melibatkan energi yang berbeda.
Suatu kromofor dengan pasangan elektron bebas (n) dapat menjalani
transisi dari orbital non-ikatan (n) ke orbital anti-ikatan, baik pada
obital sigma bintang (α*) maupun phi bintang(π*). Sedangkan, kromofor
dengan elektron ikatan rangap (menghuni orbital phi) akan menjalani
transisi dari orbital π ke orbital π*. Demikian seterusnya untuk jenis
transisi yang lain.
Dalam penentuan
struktur molekul, tansisi σ → σ* tidak begitu penting karena puncak
absorbsi berada pada daerah ultraviolet vakum yang berarti tidak terukur
oleh peralatan atau instrumen pada umumnya.
Walaupun
transisi π→π* pada ikatan ganda terisolasi mempunyai puncak absorbsi di
daerah UV vakum tetapi transisi π→π* tergantung pada konjugasi ikatan
ganda dengan suatu gugus fungsi substituen.
Akibatnya transisi π→π* pada ikatan ganda terkonjugasi mempunyai puncak
absorbsi pada daerah ultraviolet dekat, dengan panjang gelombang lebih
besar dari 200 nm. Dengan demikian transisi yang penting dalam penentuan
struktur molekul adalah transisi π→π* serta beberapa transisi n→π* dan
n→σ*.
Anaslisis
menggunakan spektrofotometer UV, senyawa-senyawa dengan kromofor yang
sama, misalnya sama-sama ada ikatan rangkap atau ada elektron bebas,
maka akan memberikan spektrum yang sama atau hampir sama walaupun
strkturnya molekulnya berbeda. Contoh dapat di lihat pada Gambar berikut.
Pola pita absorpsi UV untuk dua senyawa dengan kromofor yang sama
Pengaruh ikatan konjugasi pada lmaks
Sesuai dengan
uraian tentang transisi π→π* pengaruh adanya ikatan konjugasi pada suatu
struktur yang mempunyai ikatan π adalah menggesar lmaks ke nilai yang lebih besar atau pergeseran batokromat.
Hal ini dapat dilihat pada lmaks etana dan beberapa poliena pada tabel:
senyawa |
lmaks (nm) |
Etena 1,3-butadiena 1,3,5-heksatriena 1,3,5,7-oktatriena |
165 217 251 304 |
Perpanjangan
ikatan rangkap tekonjugasi menggeser λmaks ke arah makin besar karena
makin mudah menjalani terjadinya transisi π→π* sehingga transisi ini
hanya memerlukan energi yang kecil (panjang gelombang besar). Terjadinya pergeseran lmaks
karena orbital π masing-masing ikatan π berinteraksi membentuk
seperangkat orbital ikatan dan anti ikatan yang baru. Orbital-orbital
baru tersebut mempunyai tingkat energi yang berbeda dengan orbital dalam
ikatan ganda yang terisolasi.
Diagram
skematik perbedaan pola transisi π→ π*pada satu ikatan rangkap C=C dan
ikatan rangkap C=C terkonjugasi ditunjukan pada Gambar berikut.
Gambar Pola transisi elektronik suatu diena dan diena terkonjugasi
Bila sistem
konjugasi semakin panjang atau jumlah ikatan rangkap terkonjugasi
semakin banyak maka perbedaan energi antara keadaan dasar dengan keadaan
tereksitasi yang melibatkan transisi π→π* akan semakin kecil.
Dengan demikian sistem konjugasi bertambah panjang maka energi yang
diperlukan untuk transisi π→π* semakin kecil, sehingga puncak absorbsi
akan terjadi pada panjang gelombang yang semakin besar.
Konjugasi yang
cukup panjang dapat menggeser puncak absorbsi sampai ke panjang
gelombang pada daerah sinar tampak sehingga suatu senyawa menjadi
berwarna. Sebagai contoh likopena yang menyebabkan tomat berwarna merah. Dalam struktur likopena mempunyai sebelas ikatan rangkap terkonjugasi dengan lmaks 505 nm. Struktur likopena dapar dilihat pada Gambar.
Gambar Struktur Likopena, zat pemberi warna merah pada beberapa sayuran dan buah-buahan seperti tomat
Perlu ditekankan, makin panjang konjugasi makin tidak “aktif”
daerah UV, tetapi makin aktif pada daerah Visible. Misalnya, untuk
delapan atau lebih ikatan rangkap terkonjugasi, maka absorpsi maksimum
pada poliena yang demikian mengabsorpsi secara kuat di daerah spektrum
visible.
Selain dengan perpanjangan sistem ikatan π, adanya substituen tertentu yang juga dapat menggeser lmaks ke panjang gelombang yang lebih besar atau menyebabkan geseran batokromat.
Substituen tersebut dapat berupa gugus atau atom, misalnya gugus metil
atau atom halogen. Khusus untuk konjugasi oleh metil dikenal sebagai hiperkonjugasi.
Pengaruh pelarut pada lmaks
Suatu senyawa yang diukur atau akan ditentukan strukturnya biasanya dalam bentuk encer.
Pelarut yang biasa digunakan pada spektrofotometer UV adalah pelarut
yang tidak mengabsorbsi atau transparan pada panjang gelombang UV.
Pelarut yang
biasa digunakan pada spektrofotometer adalah etanol karena sifatnya yang
transparan terhadap UV di atas 210 nm. Selain itu heksana (transparan
di atas 210 nm), air (transparan di atas 205) dan dioksana juga sering
digunakan sebagai pelarut pada spektrofotometer UV.
Air dan etanol termasuk pelarut polar sehingga dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar sedangkan heksana termasuk pelarut nonpolar sehingga dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, sesuai prinsip “Like Dissolve Like“.
Penggunaan
pelarut dengan kepolaran yang berbeda menyebabkan posisi puncak absorbsi
suatu senyawa bergeser. Dengan kata lain kepolaran pelarut berpengaruh
pada lmaks suatu senyawa.
Kepolaran
pelarut mempengaruhi λmaks karena kepolaran molekul biasanya berubah
jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya.
Pengaruh pelarut biasanya mencapai hingga 20 nm jika digunakan pelarut
senyawa-senyawa karbonil.
Pada umumnya
transisi π→π* menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari
keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam
keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar,
menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi
turun.
Akibatnya
transisi π→π* suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang
lebih kecil dari transisi π→π* molekul itu dalam pelarut nonpolar.
Pergantian pelarut heksana dengan etanol menggeser lmaks suatu senyawa ke nilai yang lebih besar dengan pergeseran sebesar 10–20 nm.
Untuk membantu
memahami bagaimana suatu pelarut polar dapat menstabilkan suatu keadaan
tereksitasi, dapat diambil contoh di sini adalah transisi π→π* dalam
alkena. Pernyataan spesies pada keadaan dasar dan keadaan tereksitasi
dengan konsep sederhana melalui struktur resonansinya sehingga membentuk
spesies dipolar (lihat Gambar). Kondisi struktur sebenarnya pada Gambar bukan sebagai keadaan tereksitasi tetapi memberikan kontribusi untuk suatu struktur keadaan tereksitasi.
Gambar Struktur resonansi keadaan dasar dan eksitasi untuk alkena
Transisi n→π*,
pada keton menunjukan pengaruh yang berlawanan. Molekul-molekul pelarut
yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan
molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan
tereksitasi.
Transisi n→π*
molekul keton dalam pelarut air atau etanol (dalam pelarut polar)
terjadi geseran biru (geseran hipsokromat) atau transisi dalan kedua
pelarut polar tersebut memerlukan energi yang lebih besar (panjang
gelombang lebih kecil) daripada transisi n→π* molekul keton dalam
pelarut heksana.
Hal ini
disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara molekul air atau etanol
dengan molekul keton pada keadaan dasar. Akibatnya transisi n→π* molekul
keton dalam pelarut air atau etanol memerlukan energi yang lebih besar
(lmaks yang lebih kecil).
No comments:
Post a Comment